Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 13 Januari 2010

ANSIETAS DAN DEPRESI

Ansietas dan Depresi :
Respon Pertahanan Tubuh yang Kelewat Batas
Print this article Email this article to friend
SIMPOSIA - Edisi Desember 2007 (Vol.7 No.5)

 
Para dokter dalam prakteknya lebih mengedepankan mencari kelainan fisik daripada menelusuri penyebab keluhan-keluhan yang dasarnya non fisik, psikologis, atau psikososial.
Hampir pasti, setiap manusia di bumi ini pernah mengalami rasa cemas dalam episode kehidupannya. Dan meski tidak ada seorangpun yang ingin dihampiri rasa ini, namun kenyataannya, perasaan tersebut merupakan benteng pertahanan seseorang dalam menghadapi gejolak perjalanan hidupnya. Jadi, wajar saja jika cemas, khawatir, takut, dan perasaan lain ada dalam kamus makhluk hidup dengan derajat tertinggi bernama manusia.
Yang tidak wajar, jika gejala cemas yang datang berlebihan, tidak proporsio­nal bahkan tidak realistik, hingga menimbul­kan ansietas. Atau ada­nya gangguan perasaan yang memunculkan depresi. Sistem saraf otonom mengalami hiperaktivitas demikian juga sistem motorik me­ne­gang yang berakibat pada timbulnya ke­luhan-keluhan fisik. Nah, gejala-gejala fi­sik ini justru yang biasanya yang membuat pasien datang ke sentra pelayanan ke­sehatan. Sementara faktor psikis, justru tidak mendapat perhatian. Bahkan dokter sekalipun, baik umum mau­pun spesialis, kerap abai dalam mene­lusuri faktor psikis ini.
“Para dokter dalam prakteknya lebih mengedepankan mencari kelainan fisik daripada menelusuri penyebab keluhan-keluhan yang dasarnya non fisik, psikologis, atau psikososial,” ujar dr. E. Mudjadid, SpPD-KPsi, dalam acara Symposium on Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine, 3 November lalu, di Jakarta. Bahkan, lanjut Mudjadid, setelah melalui ber­bagai pemeriksaan yang canggih dan tidak menjumpai ke­lainan, faktor psikis yang mendasari keluhan pa­sien masih sering tidak menda­pat perhatian yang cukup. Mudjadid menunjuk dua jenis gangguan psi­ko­soma­tik yaitu ansietas dan de­pre­si kerap di­temu­kan ber­sa­ma­an me­nyer­tai pe­nya­kit organik. An­sie­­tas dan de­presi pada kea­daan komorbiditas akan le­bih sulit dila­kukan diagnosa, karena keluhan fisik tertutup oleh keluhan fisik. Keluhan lemas pada pa­sien diabetes misalnya, sering diarti­kan hanya berasal dari penyakit or­ga­niknya.
Semakin banyaknya ditemukan kasus-kasus ansietas dan depresi, ‘kesalahan’ lagi-lagi ditimpakan pada kehidupan mo­dern yang berjalan sedemikian cepat. Mes­ki belum ada angka yang pasti di In­do­nesia, prevalensi ansietas diperkirakan berkisar antara 9 hingga 12 persen populasi umum. Angka yang lebih besar yaitu 17 hingga 27 persen, dilaporkan dari tempat-tempat pelayanan kesehatan umum. Bahkan, pasien-pasien tersebut mengalami berbagai jenis gangguan ansietas. Sementara depresi angka prevalensinya ditemukan sebesar 6 hingga 9 persen.
 
Ansietas
Meski penyebab ansietas belum se­penuhnya diketahui, namun gangguan ke­seimbangan neurotransmitter dalam otak dapat menimbulkan ansietas pada diri seseorang. Faktor genetik juga merupa­kan faktor yang dapat menimbulkan gangguan ini. “Terdapat bukti yang kuat bahwa faktor keturunan merupakan predisposisi yang mempengaruhi kerentanan untuk tim­bulnya gangguan cemas,” ujar Mudjadid. Pasien mengalami cemas yang luar biasa akibat ancaman yang datang dari dalam diri sendiri yang merupakan bahaya yang tidak nyata yang disertai reaksi fisik dan perilaku.
Tatalaksananya, menggunakan pendekatan psikosomatik atau holistik yang bertujuan mengurangi gejala dan keren­ta­n­an rasa cemas yang menggangu. Selain pemberian obat-obat psikofarmaka, se­cara bersamaan perlu dilakukan psikoterapi termasuk psikoterapi kognitif dan pe­rilaku.
Terdapat 5 varian ansietas yang sering ditemukan seperti diungkap dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, yaitu Generalized Anxiety Disorder (GAD), Panic Disorder (PD), Social Anxiety Disorder (SAD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD), dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pada GAD, gambaran terpenting untuk mengenali gangguan ini adalah rasa ce­mas yang menyeluruh, menetap, dan ber­tahan lama. GAD tidak hanya muncul pa­da keadaan tertentu namun bersifat me­ngambang, dan terkait dengan stres psi­kososial yang kronis. Pengobatan pada gangguan ansietas ini adalah obat golong­an benzodiazepine untuk jangka pendek dan golongan nonbenzodiazepin untuk jangka panjang.
Sedangkan panic disorder biasanya berat, berulang-ulang, dan bersifat tiba-tiba. Dalam satu bulan dapat timbul em­pat kali serangan atau lebih disertai ge­jala fisik yang jelas pada sistem kadiovaskular, gastrointestinal, maupun mus­ku­loskeletal. Secara sekunder hampir se­la­lu timbul rasa takut mati, kehilangan kendali atau takut menjadi gila. “Individu yang mengalami serangan panik sering­kali merasakan ketakutan yang mening­kat disertai gejala otonomik dan mengakibatkan yang bersangkutan dengan terburu-buru meninggalkan tempat ia sedang berada,” ujar Mudjadid. Pengobatan yang diberikan adalah golongan benzodiaze­pine, antidepresan golongan Selective Se­ro­tonin Reuptake Inhibitor (SSRI), juga penghambat beta untuk mengurangi tre­mor dan frekuensi jantung.
Sedangkan SAD adalah salah satu ben­tuk ansietas fobia, yaitu seseorang me­rasa cemas atau menjauhi tempat-tem­pat umum dan situasi tertentu. Gejala fisik yang muncul mirip serangan panik seperti gemetar, berkeringat, merasa malu, sampai keluhan gastrointestestinal. Obat-obatan yang dapat diberikan se­lain gongan benzodiazepine dapat dicoba golongan MAO inhibitor spesifik yaitu golongan Reversible Inhibitory Monoa­mi­ne Axidase type A (RIMA) seperti monoklebemid.
Gangguan yang ditandai dengan pikiran obsesif yang berulang dalam bentuk yang sama lalu diikuti dengan tindakan kompulsif secara ritual stereotiptik yang berulang digolongkan pada OCD. Contohnya adalah tindakan mencuci tangan berulang-ulang hanya karena merasa dirinya tidak bersih. Pengobatan gangguan ini dengan menggunakan antidepresan golongan trisiklik atau SSRI.
Gangguan stres pasca trauma atau Post Traumatic Stress Disorder timbul sebagai respon berkepanjangan terhadap kejadian atau musibah yang besar dan traumatik. Onsetnya terjadi setelah bebe­rapa minggu atau beberapa bulan setelah mengalami trauma tadi, dengan gejala mi­rip dengan serangan panik atau ansietas pada umumnya. Benzodiazepin long acting digunakan untuk terapi pada gangguan ini. Studi menunjukkan SSRI juga dapat bermanfaat.
 
Depresi
Sama halnya dengan ansietas, meski penyebab depresi belum dapat dijelaskan selengkapya, namun disepakati faktor ge­netik, faktor lingkungan atau stresor psi­kososial, dan faktor neuobiologi menjadi hal yang saling mempengaruhi pada terjadinya gangguan ini. Faktor sosial dan genetik mempengaruhi faktor biologi da­lam bentuk terjadinya gangguan neurotransmitter. Faktor psikososial dan  biologi dapat mengubah ekspresi genetik se­se­orang. Selanjutnya faktor biologi dan genetik dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stressor psikososial.
Depresi yang dijumpai bersama-sama dengan penyakit organik sering disebut ko­insidensi. Prevalensinya pada beberapa penderita penyakit, tercatat 18-23 per­sen untuk penyakit jantung, 16-19 persen untuk infark miokard, 23-29 persen untuk stroke. Sementara pada pasien diabetes tercatat 9-27 persen, Parkinson 2-51 per­sen, HIV 4-18 persen, arthritis rematoid 12-28 persen, dan kanker 6-25 persen.
Gejala utama depresi adalah gangguan perasaan serta hilangnya minat atau rasa senang yang nyata. Gejala lainnya misalnya berat badan menurun atau bertambah, insomnia atau hipersomnia, agitasi atau retadasi psikomotor, kelelahan atau hilang tenaga, perasaan bersalah berlebihan atau tidak berguna, sulit konsentrasi, dan pikiran berulang tentang kematian serta ide bunuh diri. Diagnosa ditegakkan bila terdapat 5 gejala tersebut termasuk gejala utama.
Pengobatan pada depresi ringan cukup diberikan psikoterapi, namun pada depresi sedang atau berat dibarengi dengan pemberian psikofarmaka. Jika depresi di­jumpai bersama dengan penyakit ko­mor­biditas, pengobatan bisa dilakukan se­ren­tak tapi pada keadaan tertentu pengobatan medik perlu didahulukan sedangkan pengobatan depresi dimulai dengan psi­koterapi dan psikoedukasi.
Obat-obatan anti depresan yang sering digunakan adalah golongan trisklik, te­trasiklik, RIMA, atipikal, SSRI, venlafak­sin, bupropion, tianeptine, dan Hypericum perforatum.
Mengingat obat anti depresan menimbulkan efek tertentu seperti sedasi, anti­kolinergik, dan hipotensi ortostatik, maka Mudjadid memberikan panduan pemberian obat depresi. “Depresi dengan gejala sulit tidur, agitasi dan ketegangan dipilih obat anti depresan trisiklik atau tetrasiklik. Untuk pasien depresi dengan gejala retardasi psikomotor seperti rasa lelah, kurang semangat, hipersomnia dipilih obat antidepresan golongan SSRI, SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer) atau RIMA,” ujarnya. Hypericum perforatum yang merupakan fitofarmaka dapat diberikan pada kedua kelompok tersebut walau pemakaiannya sangat jarang.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar