Para dokter dalam prakteknya lebih mengedepankan mencari kelainan fisik daripada menelusuri penyebab keluhan-keluhan yang dasarnya non fisik, psikologis, atau psikososial.
Hampir pasti, setiap manusia di bumi ini pernah mengalami rasa cemas dalam episode kehidupannya. Dan meski tidak ada seorangpun yang ingin dihampiri rasa ini, namun kenyataannya, perasaan tersebut merupakan benteng pertahanan seseorang dalam menghadapi gejolak perjalanan hidupnya. Jadi, wajar saja jika cemas, khawatir, takut, dan perasaan lain ada dalam kamus makhluk hidup dengan derajat tertinggi bernama manusia.
Yang tidak wajar, jika gejala cemas yang datang berlebihan, tidak proporsional bahkan tidak realistik, hingga menimbulkan ansietas. Atau adanya gangguan perasaan yang memunculkan depresi. Sistem saraf otonom mengalami hiperaktivitas demikian juga sistem motorik menegang yang berakibat pada timbulnya keluhan-keluhan fisik. Nah, gejala-gejala fisik ini justru yang biasanya yang membuat pasien datang ke sentra pelayanan kesehatan. Sementara faktor psikis, justru tidak mendapat perhatian. Bahkan dokter sekalipun, baik umum maupun spesialis, kerap abai dalam menelusuri faktor psikis ini.
“Para dokter dalam prakteknya lebih mengedepankan mencari kelainan fisik daripada menelusuri penyebab keluhan-keluhan yang dasarnya non fisik, psikologis, atau psikososial,” ujar dr. E. Mudjadid, SpPD-KPsi, dalam acara Symposium on Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine, 3 November lalu, di Jakarta. Bahkan, lanjut Mudjadid, setelah melalui berbagai pemeriksaan yang canggih dan tidak menjumpai kelainan, faktor psikis yang mendasari keluhan pasien masih sering tidak mendapat perhatian yang cukup. Mudjadid menunjuk dua jenis gangguan psikosomatik yaitu ansietas dan depresi kerap ditemukan bersamaan menyertai penyakit organik. Ansietas dan depresi pada keadaan komorbiditas akan lebih sulit dilakukan diagnosa, karena keluhan fisik tertutup oleh keluhan fisik. Keluhan lemas pada pasien diabetes misalnya, sering diartikan hanya berasal dari penyakit organiknya.
Semakin banyaknya ditemukan kasus-kasus ansietas dan depresi, ‘kesalahan’ lagi-lagi ditimpakan pada kehidupan modern yang berjalan sedemikian cepat. Meski belum ada angka yang pasti di Indonesia, prevalensi ansietas diperkirakan berkisar antara 9 hingga 12 persen populasi umum. Angka yang lebih besar yaitu 17 hingga 27 persen, dilaporkan dari tempat-tempat pelayanan kesehatan umum. Bahkan, pasien-pasien tersebut mengalami berbagai jenis gangguan ansietas. Sementara depresi angka prevalensinya ditemukan sebesar 6 hingga 9 persen.
Ansietas
Meski penyebab ansietas belum sepenuhnya diketahui, namun gangguan keseimbangan neurotransmitter dalam otak dapat menimbulkan ansietas pada diri seseorang. Faktor genetik juga merupakan faktor yang dapat menimbulkan gangguan ini. “Terdapat bukti yang kuat bahwa faktor keturunan merupakan predisposisi yang mempengaruhi kerentanan untuk timbulnya gangguan cemas,” ujar Mudjadid. Pasien mengalami cemas yang luar biasa akibat ancaman yang datang dari dalam diri sendiri yang merupakan bahaya yang tidak nyata yang disertai reaksi fisik dan perilaku.
Tatalaksananya, menggunakan pendekatan psikosomatik atau holistik yang bertujuan mengurangi gejala dan kerentanan rasa cemas yang menggangu. Selain pemberian obat-obat psikofarmaka, secara bersamaan perlu dilakukan psikoterapi termasuk psikoterapi kognitif dan perilaku.
Terdapat 5 varian ansietas yang sering ditemukan seperti diungkap dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, yaitu Generalized Anxiety Disorder (GAD), Panic Disorder (PD), Social Anxiety Disorder (SAD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD), dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pada GAD, gambaran terpenting untuk mengenali gangguan ini adalah rasa cemas yang menyeluruh, menetap, dan bertahan lama. GAD tidak hanya muncul pada keadaan tertentu namun bersifat mengambang, dan terkait dengan stres psikososial yang kronis. Pengobatan pada gangguan ansietas ini adalah obat golongan benzodiazepine untuk jangka pendek dan golongan nonbenzodiazepin untuk jangka panjang.
Sedangkan panic disorder biasanya berat, berulang-ulang, dan bersifat tiba-tiba. Dalam satu bulan dapat timbul empat kali serangan atau lebih disertai gejala fisik yang jelas pada sistem kadiovaskular, gastrointestinal, maupun muskuloskeletal. Secara sekunder hampir selalu timbul rasa takut mati, kehilangan kendali atau takut menjadi gila. “Individu yang mengalami serangan panik seringkali merasakan ketakutan yang meningkat disertai gejala otonomik dan mengakibatkan yang bersangkutan dengan terburu-buru meninggalkan tempat ia sedang berada,” ujar Mudjadid. Pengobatan yang diberikan adalah golongan benzodiazepine, antidepresan golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), juga penghambat beta untuk mengurangi tremor dan frekuensi jantung.
Sedangkan SAD adalah salah satu bentuk ansietas fobia, yaitu seseorang merasa cemas atau menjauhi tempat-tempat umum dan situasi tertentu. Gejala fisik yang muncul mirip serangan panik seperti gemetar, berkeringat, merasa malu, sampai keluhan gastrointestestinal. Obat-obatan yang dapat diberikan selain gongan benzodiazepine dapat dicoba golongan MAO inhibitor spesifik yaitu golongan Reversible Inhibitory Monoamine Axidase type A (RIMA) seperti monoklebemid.
Gangguan yang ditandai dengan pikiran obsesif yang berulang dalam bentuk yang sama lalu diikuti dengan tindakan kompulsif secara ritual stereotiptik yang berulang digolongkan pada OCD. Contohnya adalah tindakan mencuci tangan berulang-ulang hanya karena merasa dirinya tidak bersih. Pengobatan gangguan ini dengan menggunakan antidepresan golongan trisiklik atau SSRI.
Gangguan stres pasca trauma atau Post Traumatic Stress Disorder timbul sebagai respon berkepanjangan terhadap kejadian atau musibah yang besar dan traumatik. Onsetnya terjadi setelah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah mengalami trauma tadi, dengan gejala mirip dengan serangan panik atau ansietas pada umumnya. Benzodiazepin long acting digunakan untuk terapi pada gangguan ini. Studi menunjukkan SSRI juga dapat bermanfaat.
Depresi
Sama halnya dengan ansietas, meski penyebab depresi belum dapat dijelaskan selengkapya, namun disepakati faktor genetik, faktor lingkungan atau stresor psikososial, dan faktor neuobiologi menjadi hal yang saling mempengaruhi pada terjadinya gangguan ini. Faktor sosial dan genetik mempengaruhi faktor biologi dalam bentuk terjadinya gangguan neurotransmitter. Faktor psikososial dan biologi dapat mengubah ekspresi genetik seseorang. Selanjutnya faktor biologi dan genetik dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stressor psikososial.
Depresi yang dijumpai bersama-sama dengan penyakit organik sering disebut koinsidensi. Prevalensinya pada beberapa penderita penyakit, tercatat 18-23 persen untuk penyakit jantung, 16-19 persen untuk infark miokard, 23-29 persen untuk stroke. Sementara pada pasien diabetes tercatat 9-27 persen, Parkinson 2-51 persen, HIV 4-18 persen, arthritis rematoid 12-28 persen, dan kanker 6-25 persen.
Gejala utama depresi adalah gangguan perasaan serta hilangnya minat atau rasa senang yang nyata. Gejala lainnya misalnya berat badan menurun atau bertambah, insomnia atau hipersomnia, agitasi atau retadasi psikomotor, kelelahan atau hilang tenaga, perasaan bersalah berlebihan atau tidak berguna, sulit konsentrasi, dan pikiran berulang tentang kematian serta ide bunuh diri. Diagnosa ditegakkan bila terdapat 5 gejala tersebut termasuk gejala utama.
Pengobatan pada depresi ringan cukup diberikan psikoterapi, namun pada depresi sedang atau berat dibarengi dengan pemberian psikofarmaka. Jika depresi dijumpai bersama dengan penyakit komorbiditas, pengobatan bisa dilakukan serentak tapi pada keadaan tertentu pengobatan medik perlu didahulukan sedangkan pengobatan depresi dimulai dengan psikoterapi dan psikoedukasi.
Obat-obatan anti depresan yang sering digunakan adalah golongan trisklik, tetrasiklik, RIMA, atipikal, SSRI, venlafaksin, bupropion, tianeptine, dan Hypericum perforatum.
Mengingat obat anti depresan menimbulkan efek tertentu seperti sedasi, antikolinergik, dan hipotensi ortostatik, maka Mudjadid memberikan panduan pemberian obat depresi. “Depresi dengan gejala sulit tidur, agitasi dan ketegangan dipilih obat anti depresan trisiklik atau tetrasiklik. Untuk pasien depresi dengan gejala retardasi psikomotor seperti rasa lelah, kurang semangat, hipersomnia dipilih obat antidepresan golongan SSRI, SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer) atau RIMA,” ujarnya. Hypericum perforatum yang merupakan fitofarmaka dapat diberikan pada kedua kelompok tersebut walau pemakaiannya sangat jarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar