Obat-obat
antibiotik ditujukan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit
infeksi. Pemberian antibiotik pada kondisi yang bukan disebabkan oleh
bakteri banyak ditemukan dari praktek sehari-hari, baik di puskesmas
(primer), rumah sakit, maupun praktek swasta. Ketidak tepatan diagnosis,
pemilihan antibiotik, indikasi hingga dosis, cara pemberian, frekuensi
dan lama pemberian menjadi penyebab tidak kuatnya pengaruh infeksi
dengan antibiotik (Wattimena, 1991).
Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat di rumah sakit banyak terjadi seperti belum
jelas penyebab penyakit (diagnosis belum jelas), pemilihan yang hanya
didasarkan pada pengalaman (tanpa didukung bukti ilmiah), cara pemberian
yang kurang tepat, frekuensi dan lama pemberian yang kurang atau justru
berlebihan dan seringnya antibiotik diganti dengan antibiotik lain yang
berbeda khasiat dan indikasinya karena alasan persediaan habis
(Dwiprahasto, 1998). Penggunaan antibiotik secara berlebihan merupakan
salah satu penyebab terjadinya resistensi kuman. Demikian juga yang
terjadi di negara-negara Eropa saat ini. Penelitian dilakukan terhadap
pasien-pasien rawat jalan di 26 negara di Eropa dengan melakukan analisa
data antara tahun 1997 hingga 2002 kemudian menarik hubungan antara
penggunaan antibiotik dengan tingkat resistensi kuman. Hasil analisis
menunjukkan bahwa terjadi pergeseran dari penggunaan antibiotik spektrum
sempit yang lama ke antibiotik spektrum luas yang lebih baru (Anonim,
2007a).
Virus
dan bakteri seringkali menginfeksi saluran nafas anak. Infeksi saluran
nafas bagian atas sering kali terjadi, tapi biasanya tidak serius
(Biddulph dan Stace, 1999).
Infeksi
saluran nafas bagian atas adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai
struktur-struktur saluran nafas di sebelah atas laring. Kebanyakan
penyakit saluran nafas mengenai bagian-bagian atas dan bawah saluran
pernafasan secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa
diantaranya terutama akan melibatkan bagian-bagian spesifik saluran
nafas secara nyata (Nelson, 2000).
Infeksi
saluran pernafasan akut bagian atas atau non pneumonia sebagian besar
disebabkan oleh virus dan tidak berespon pada terapi antibiotik,
akibatnya penderita mendapatkan pengobatan yang tidak diperlukan yang
pada akhirnya akan menambah biaya pengobatan (Shulman dkk., 1994).
Penggunaan
antibiotik pada anak memerlukan perhatian khusus karena absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotik pada anak
berbeda dengan dewasa sehingga dapat terjadi perbedaan respons terapetik
atau efek sampingnya (Dwiprahasto, 1998). Evaluasi terhadap
ketidaktepatan antibiotik untuk anak-anak terutama penderita infeksi
saluran pernafasan atas di pusat pelayanan kesehatan menjadi sangat
penting dilakukan untuk menentukan langkah atau kebijaksanaan dalam
menekan ketidaktepatan penggunaan obat.
1. ANTIBIOTIK
a. Definisi
Antibiotik
pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 yang
secara kebetulan menemukan suatu zat antibakteri yang sangat efektif
yaitu Penisilina. Penisilina ini pertama kali dipakai di dalam ilmu
kedokteran pada tahun 1939 oleh Chain dan Florey (Widjajanti, 1999).
Antibiotik
yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi yang dapat
menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain (Anonim, 2000).
b. Klasifikasi
Dasar pembagian jenis antibiotik dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia dibedakan beberapa kelompok yaitu:
a)
Antibiotik beta laktam, yang termasuk antibiotik beta laktam yaitu
penisilin (contohnya: benzyl penisilin, oksisilin,
fenoksimetilpenisilin, ampisilin), sefalosporin (contohnya: azteonam)
dan karbapenem (contohnya: imipenem).
b) Tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin.
c) Kloramfenikol, contoh: tiamfenikol dan kloramfenikol.
d) Makrolida, contoh: eritromisin dan spiramisin.
e) Linkomisin, contoh: linkomisin dan klindamisin.
f) Antibiotik aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin dan spektinomisin.
g) Antibiotik polipeptida (bekerja pada bakteri gram negatif), contoh: polimiksin B, konistin, basitrasin dan sirotrisin.
h) Antibiotik polien (bekerja pada jamur), contoh: nistatin, natamisin, amfoterisin dan griseofulvin (Mutschler, 1991).
2) Berdasarkan kemampuan untuk membunuh kuman penyakit, antibiotik dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a)
Bersifat bakterisid (dapat membunuh bakteri) misalnya penisilin,
sefalosporin, streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin dan
basitrasin.
b) Bersifat bakteriostatik (menghambat perkembangbiakan bakteri)
c)
misalnya: sulfonamide, trimetropim, kloramfenikol, tetrasiklin,
linkomisin dan klindamisin. Antibiotik tertentu (misalnya INH dan
eritromisin) aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi kadar hambat
minimal (KHM) (Ganiswarna, 1995).
3) Berdasarkan spektrum aktivitasnya antibiotik dibagi menjadi:
a)
Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram-positif
maupun Gram-negatif, contoh : turunan tetrasiklin, turunan
kloramfenikol, turunan aminoglikosida, turunan makrolida, rifampisin,
beberapa turunan penisilin, seperti ampisilin, amoksisillin,
bakampisilin, karbenisilin, hetasilin, pivampisilin, sulbenisilin dan
tikarsilin serta sebagian besar turunan sefalosporin.
b)
Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri
grampositif, contoh: basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan
penisilin, seperti benzilpenisilin, penisilin G prokain, penisilin V,
fenetisilin K, metisilin Na, nafsilin Na, oksasilin Na, kloksasilin Na,
dikloksasilin Na dan floksasilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat
dan beberapa turunan sefalosporin.
c)
Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri
gramnegatif, contoh: kolistin, polimiksin B sulfat dan sulfomisin.
d)
Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae
(antituberkulosis), contoh: streptomisin, kanamisin, sikloserin,
rifampisin, viomisin, kapreomisin.
e)
Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur), contoh:
griseofulvin dan antibiotik polien, seperti nistatin, amfoterisin B dan
kandisidin.
f)
Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma, contoh: aktinomisin,
bleomisin, daunorubisin, doksorubisin, mitomisin dan mitramisin
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Sifat
dari antibiotik dapat berbeda satu dengan yang lain. Misalnya,
penisilin G bersifat aktif terutama terhadap bakteri grampositif,
sedangkan bakteri gram-negatif pada umumnya tidak peka atau resisten
terhadap penisilin G sedangkan streptomisin memiliki sifat yang
sebaliknya, tetrasiklin aktif terhadap beberapa bakteri gram-positif
maupun bakteri gram-negatif dan terhadap Rickettsia dan clamydia (Ganiswarna, 1995).
4)
Ditinjau dari cara kerja bakteri dalam menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri, antibiotik ini dibagi dalam 5 golongan:
a)
Antibiotik yang menghambat metabolisme sel. Antibiotik yang termasuk
dalam kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprim, asam
p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Obat tersebut menghasilkan efek
bakteriostatik, misalnya : trimetoprim menghambat sintesis enzim
dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, sulfonamid atau sulfon
membentuk analog asam folat yang non fungsional.
b)
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel Dinding sel bakteri
terdiri dari polipeptidoglikan. Sikloserin menghambat sintesis dinding
sel yang paling dini, diikuti berturutturut oleh basitrasin, vankomisin,
dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin yang menghambat reaksi
terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian tersebut.
c)
Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel Obat yang termasuk
dalam kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien, dan antibiotik
kemoterapetik. Polimiksin merusak membran sel setelah bereaksi dengan
fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba, polien bereaksi dengan
struktur sterol pada membran sel fagus sehingga mempengaruhi
permeabilitas selektif membran tersebut (Ganiswarna, 1995).
d)
Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Beberapa dari
antibiotik seperti itu, tetapi mekanismenya berbeda, tetrasiklin
mengganggu fungsi tRNA dan aminoglikosid mengganggu fungsi mRNA;
kloramfenikol menghambat peptydil transferase; lincomysin bersama
clindamisin mengganggu translokasi.
e) Antibiotik yang mempengaruhi sintesis asam nukleat.
Beberapa
antibiotik seperti itu, tetapi berbeda dengan mekanismenya;
metronidazol dan nitrofurantoin merusak DNA, golongan quinolon
menghambat DNA gyrase, rifampisin menghambat RNA polymerase, sulfonamid
dan trimetroprim menghambat sintesis asam folat (Ganiswarna, 1995).
C Keberhasilan penggunaan antibiotik
Secara umum, berdasarkan ditemukannya kuman penyebab infeksi atau tidak, maka terapi antibiotik dapat dibagi menjadi tiga, yakni :
1) Terapi secara empirik atau terapi proporsional :
Yaitu
penggunaan antibiotik yang memiliki spektrum luas pada keadaan infeksi
yang belum dapat dipastikan kuman penyebabnya.Pemilihan jenis antibiotik
berdasarkan pengalaman yang layak atau berdasar pola epidemiologi kuman
setempat. Pertimbangan utama dari terapi ini adalah pengobatan infeksi
mungkin akan memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih
lanjut dari infeksinya, misalnya pada kasus pasien infeksi dengan
kondisi depresi imunologik. Sedangkan keberatan dari terapi ini
meliputi, jika pasien sebenarnya tidak menderita infeksi atau kepastian
kuman penyebab tidak dapat diperoleh kemudian karena sebab-sebab
tertentu (misalnya tidak didapat spesimen), maka terapi antibiotik
seolah dilakukan secara buta (Anonim, 2003).
2) Terapi definitif, terapi terarah atau terapi langsung :
Yaitu
penggunaan antibiotik berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang
sudah pasti, jenis kuman maupun spektrum kepekaannya terhadap
antibiotik. Dalam praktek sehari-hari, terapi antibiotik umumnya
dilakukan secara empiris. Kemudian jika hasil pemeriksaan mikrobiologis
menunjukkan ketidakcocokan dalam pemilihan antibiotik, maka antibiotik
dapat diganti dengan yang lebih sesuai (Anonim, 2003).
3) Terapi profilaktif :
Antibiotik
diberikan untuk penderita yang belum terkena infeksi, tetapi diduga
mempunyai peluang besar untuk mendapat infeksi, atau apabila terkena
infeksi dapat menimbulkan dampak buruk untuk penderita. Diperlukan
protokol sendiri untuk tata cara penggunaannya, baik untuk kasus medik
atau kasus bedah (Reese dkk., 2000).
d. Kegagalan terapi antibiotik
Prinsipnya,
terapi antibiotik dinilai gagal bila tidak berhasil menghilangkan
gejala klinik atau infeksi kambuh lagi setelah terapi dihentikan.
Kesalahan yang lazim dibuat pada terapi antibiotik yang dapat
menggagalkan terapi, pada dasarnya berkisar pada salah pilih antibiotik,
salah pemberian/penggunaan antibiotik dan atau resistensi
mikroorganisme.
1) Adapun faktor yang mempengaruhi kesalahan pemilihan antibiotik adalah:
a) Antibiotik yang salah sasaran.
b) Antibiotik diberikan untuk demam tanpa dokumentasi mikroorganisme.
c) Menggunakan antibiotik yang tidak aktif in vitro atau tidak mampu mencapai infeksi in vivo.
d) Menggunakan antibiotik yang toksik walaupun ada yang kurang toksik.
e) Menggunakan antibiotik yang mahal, walaupun tersedia yang murah dan efektif.
2) Kesalahan pemberian/penggunaan mempunyai faktor:
a) Dosis keliru.
b) Rute pemberian tidak memadai.
c) Jangka waktu penggunaan tidak cukup.
d) Gagal mengenal kejadian toksik.
e) Tidak memodifikasi dosis pada insufisiensi eliminasi.
f) Mengganti antibiotik, pada hal faktor tertentu pada hospes memerlukan koreksi.
3) Faktor lain yang menggagalkan terapi antibiotik ialah :
a) Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik yang digunakan.
b) Terjadinya superinfeksi (Wattimena, 1991).
e. Ketidaktepatan dalam penggunaan antibiotik
Penggunaan
antibiotik secara tidak tepat telah banyak dilaporkan, baik di tingkat
pelayanan kesehatan primer, rumah sakit maupun praktek swasta. Sebagian
besar antibiotik pada demam memang tidak mengenai sasaran dan tidak
efektif, tetapi pada keadaan tertentu ada gunanya, yaitu bila antibiotik
mengenai sasaran yang tidak diperhitungkan semula. Hal ini benar-benar
merupakan kebetulan karena jenis dan dosisnya pun harus kebetulan cocok
(Wattimena, 1991).
Pada
dasarnya, suatu infeksi lazimnya dapat ditangani secara berhasil oleh
sistem pertahanan alamiah tubuh. Namun adakalanya sistem ini perlu
ditunjang oleh penggunaan antibiotik, meskipun dewasa ini sangat
disadari bahwa amat sering antibiotik telah mengalami penyalahgunaan
(Wattimena, 1991).
Bila antibiotik yang digunakan tidak sesuai, maka dapat menimbulkan beberapa kerugian yaitu:
1) Semakin banyak antibiotik digunakan semakin banyak timbul resistensi kuman terhadapnya.
2) Meningkatnya efek samping tidak diimbangi oleh efektivitas obat.
3) Pasien harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi, yang sebagian besar tidak diperlukan.
4) Masking effect yang mungkin timbul menyulitkan follow up pasien dan mungkin menimbulkan kematian bila terlambat diketahui.
5) Menimbulkan false security pada dokter, sehingga mengabaikan cara-cara diagnosis yang baik (Mansjoer dkk., 2001).
f. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik keliru
Penggunaan
obat yang irrasional terjadi di semua negara. Menurut Quick, et.al
(1997) penggunaan obat yang irasional terdiri dari;
1) Obat yang diberikan tidak diperlukan (No Drug Needed)
Penggunaan
obat pada saat obat tidak diperlukan banyak dijumpai penggunaan obat
yang nonterapetik. Contohnya di kebanyakan negara, mayoritas anak-anak
yang mengalami infeksi saluran pernafasan atas ringan, diobati dengan
antibiotik. Pada saat yang sama, penggunaan antibiotik yang tidak
diperlukan dan tidak efektif, daripada menggunakan larutan oral
dehidrasi sering diresepkan tanpa membedakan pada anakanak dengan diare
akut.
2) Salah obat (Wrong Drug)
Pada
beberapa negara, banyak anak-anak dengan faringitis streptococcus yang
tidak diobati secara benar dengan menggunakan penisilin spektrum sempit.
Sebaliknya tetrasiklin, yaitu obat yang tidak direkomendasikan untuk
profilaksi demam rematik yang mengikuti faringitis streptococcus dengan
efek samping serius pada anak, biasanya diresepkan.
3) Obat tidak aman (Unsafe Drugs)
Kemungkinan
efek samping obat selain efek terapetik dapat muncul pada saat obat
yang tidak aman diresepkan. Contoh yang umum penggunaan steroid,
anabolik untuk stimulasi pertumbuhan dan nafsu makan pada anak atau
atlet. Obat yang tidak efektif dan kemanjuran yang diragukan
(Inneffective Drugs and Drugs with Doubtful Efficacy). Tidak
digunakannya obat efektif yang tersedia (Under Use of Available
Effective Drugs).
4) Penggunaan obat yang tidak benar (Incorrect Use of Drugs)
Sediaan
injeksi umumnya digunakan secara tidak benar. Frekuensi penggunaan
obat yang tidak benar adalah pada pemberian antibiotik yang hanya untuk
1-2 hari, daripada penggunaan untuk terapi yang penuh (Quick
dkk.,1997).
g. Penggunaan antibiotik pada anak-anak
Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat baik dalam hal indikasi, maupun cara
pemberian akan merugikan penderita serta akan memudahkan terjadinya
resistensi terhadap antibiotik dan dapat menimbulkan efek samping.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi
anak-anak, cara pemberian, indikasi, compliance (kepatuhan),
jangka waktu yang tepat dan dengan memperhatikan keadaan patofisiologi
pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan
terjadi (Rudolph dkk., 2003).
Anak
sering sakit karena menurunnya daya tahan tubuh akibat dari aktifitas
yang dilakukan dengan lingkungan sehingga mudah sekali rentan terhadap
segala penyakit. Kebanyakan orang tua melihat anaknya sakit tidak
merelakan anaknya menderita, maka segala cara dilakukan untuk
mengobatinya, termasuk pergi ke dokter. Obat-obat yang diresepkan dokter
kebanyakan antibiotik, karena penyakit yang diderita anak biasanya
batukpilek, flu, radang tenggorokan ataupun infeksi telinga tengah.
Penyakitpenyakit infeksi yang sering diderita anak tersebut terutama
disebabkan oleh virus, akan tetapi infeksi virus tidak dapat diatasi
dengan pemberian antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak bijak akan
menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap pemberian antibiotik,
sehingga pada akhirnya suatu saat nanti antibiotik tidak dapat mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
2. Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA)
a. Definisi
Infeksi
saluran nafas bagian atas adalah infeksi-infeksi yang terutama
mengenai struktur-struktur saluran nafas di sebelah atas laring.
Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai bagian-bagian atas dan bawah
secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa di antaranya
terutama akan melibatkan bagian-bagian spesifik saluran nafas secara
nyata (Nelson, 2000).
Istilah
infeksi saluran pernafasan atas mengandung tiga unsur yaitu infeksi,
saluran pernafasan, dan atas. Infeksi adalah masuknya kuman dan
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernafasan yaitu organ yang
mulai dari hidung hingga alveoli beserta sinus-sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Dengan demikian infeksi saluran pernafasan secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
bagian bawah, termasuk jaringan paru dan organ adneksa saluran
pernafasan (Anonim, 2005). Oleh karena itu yang dimaksud infeksi
saluran pernafasan atas meliputi proses radang akut yang melibatkan
organ pernafasan bagian atas yaitu hidung, sinus paranasal, ruang
telinga tengah, orofaring dan tonsil, retrofaring, dan daerah
laringo-epiglotis (Shulman dkk., 1994). 16
b. Klasifikasi dan Penatalaksanaan Kasus
Banyaknya
infeksi saluran pernafasan atas yang melibatkan daerah anatomi yang
tumpang tindih serta mikroorganisme yang bermacam-macam, maka penting
bagi dokter mengenali tempat-tempat patologi primer agar dapat
menyimpulkan dengan tepat agen etiologi mana yang paling mungkin
(Shulman dkk., 1994).
1) Salesma (Common cold)
Salesma
merupakan gabungan berbagai gejala yang mengganggu saluran nafas
bagian atas utamanya selaput lendir, keadaan ini juga sering kali
disebut pilek, rhinitis akut. Common cold disebabkan oleh
mediator radang lokal yang merangsang serabut saraf nyeri dan sampai
nerbosis sel epitel terbatas, penyebab utama batuk adalah sekresi
mukosa faring (postnastal drip) dan bukan karena kelainan saluran nafas bagian bawah. Rata-rata lama Cold rinovirus dan Koronavirus kurang
dari satu minggu. Ada permulaan yang mendadak sekresi hidung cair,
hidung tersumbat, dan nyeri tenggorokan ringan dengan renorea cepat
yang bertahan selama 2-4 hari dan kemudian sedikit demi sedikit sembuh
(Shulman dkk., 1994).
Pilek
merupakan penyakit yang sangat umum pada anak-anak. Beberapa anak
mungkin terserang penyakit ini 5 atau 6 kali setiap tahun, gejalanya
yaitu keluar ingus cair dari hidung, sakit tenggorokan, sakit kepala
dan kadang-kadang sakit demam. Penyakit ini biasanya sembuh 2 sampai 3
hari. Terapi dengan antibiotik sebaiknya tidak diberikan untuk pilek
karena tidak dapat membunuh virus penyebab pilek ini (Biddulph dan
Stace, 1999). Gejala pilek dan ingusan hanya dilakukan tindakan dengan
membersihkan hidung dengan kain pembersih yang bersih. Jangan sampai
ingus mengering dan menyumbat lubang hidung, kalau perlu dibasahi dulu
supaya dapat dikeringkan. Obat-obat pilek tidak diperlukan, oleh karena
gejala tersebut akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari bila
tidak ada komplikasi (Dwiprahasto, 1998).
2) Sinusitis
Infeksi
sinus pranasal membawa banyak persamaan dengan infeksi ruang telinga.
Fisiologi normal sinus tergantung pada : keterbukaan ostia, fungsi
apacatus siliare, dan kualitas sekresi mukosa (Shulman dkk., 1994).
Faktor
yang memberi kecenderungan pada obstruksi ostimus sinus meliputi
faktor yang terkait dengan pembekalan mukosa, termasuk infeksi virus,
alergi, silia tidak bergerak, iritasi kimia oleh obat-obatan (obatobatan
rhinitis), barotraumas (menyelam), dan trauma muka. Yang paling
penting dari faktor-faktor ini yang menciptakan pembengkakan mukosa
jelas adalah alergi dari virus infeksi saluran pernafasan atas.
Sinusitis merupakan penyakit yang sangat serius, sering sub klinik dan
sembuh sendiri, tetapi sering memerlukan perhatian pengobatan (Shulman
dkk., 1994). 18
Menurut WHO (2001) sinusitis akut karena S. pneumoniae dan H. influenzae diberikan antibiotik amoksisillin 250-500 mg 3 kali sehari, kombinasi amoksisillin dan clavulanic acid, atau
kombinasi sulfametoksasol dan trimethoprim 2 kali sehari selama 7-10
hari. Sedangkan dari pedoman pengobatan Rumah Sakit, sinusitis akut
diberikan terapi amoksisilin 25-50 mg/kgBB/hari (Anonim, 2006b).
3) Faringitis atau Tonisilitis
Tonsilitis
akut sering terjadi di daerah tropis ditandai dengan sakit
tenggorokan, suhu badan meninggi, kadang muntah dan sakit perut.
Pemeriksaan menunjukkan pembengkakan dan rasa nyeri pada kelenjar di
sudut rahang, tonsil merah dan meradang. Tonsilitis akut dapat terjadi
bersaman dengan faringitis akut. Virus penyebabnya adalah Epstein-Barr virus (EBV), sedangkan bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pyogenes yang menyebabkan nyeri tenggorokan (Mansjoer dkk., 2001).
Menurut
standar WHO penatalaksanaan tonsilitis faringitis yang disebabkan
bakteri antibiotik yang disarankan meliputi eritromisin atau sefalexin
untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap antibiotik golongan
penisilin. Alternatif lain yang disebutkan yaitu benzyl penisilin, atau
fenoksimetilpenisilin, atau amoksisillin, diberikan selama 10 hari
(Anonim, 2001). Sedangkan dari pedoman pengobatan Rumah Sakit,
tonsilitis faringitis diberikan terapi amoksisilin 25-50 mg/kgBB/hari
(Anonim, 2006b). 19
4) Otitis media
Peradangan
telinga tengah merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
anak-anak di bawah 3 tahun, dan bakteri lebih banyak ditemukan sebagai
penyebabnya. Akan tetapi virus seperti virus influenza dan
rhinoviruses, walaupun jarang, tetapi juga terkadang ditemukan. Bakteri
yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Streptococcus pneumoniae dan H. influenzae, sedangkan bakteri Morraxella catarrhalis dan Strep. pyogenes juga dapat menjadi penyebab namun kasusnya jarang terjadi (Walker dan Edward, 2003).
Pada
perjalanan penyakit biasanya seorang anak dengan infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari akan mengalami otalgia, demam dan
gangguan pendengaran. Pemeriksaan otoskop pneumatic akan mengungkapkan adanya membran timpani hiperamis, suram, menggelembung, dan mempunyai pergerakan yang buruk, serta dapat dijumpai otore bernanah (Nelson, 2000).
Pengobatan otitis media akut adalah dengan amoksisillin 250- 500 mg 3 kali sehari, kombinasi amoksisillin dan clavulanic acid, atau
kombinasi sulfametoksasol dan trimethoprim 2 kali sehari selama 5 hari
(Anonim, 2001). Sedangkan dari pedoman pengobatan Rumah Sakit, otitis
media diberikan terapi amoksisillin 25-50 mg/ kgBB/ hari (Anonim,
2006b). 20
3. Anak
Penggolongan masa anak-anak menurut The British Pediatric Association (BPA) :
a. Neonatus; awal kelahiran - 1 bulan
b. Bayi (infant): 1 bulan - 1 tahun
c. Anak : 1 tahun - 12 tahun
d. Remaja: 12 tahun - 18 tahun
4. Pengobatan yang rasional
Suatu
pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria
tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi
masingmasing, tetapi paling tidak akan mencakup :
a. Ketepatan indikasi
b. Ketepatan pemilihan obat
c. Ketepatan cara pakai dan dosis obat
d. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien dan atau tindak lanjut pengobatan (Santoso dkk., 2003)
Penulisan
resep yang tidak rasional selain menambah biaya kemungkinan juga dapat
menimbulkan efek samping yang semakin tinggi serta dapat menghambat
mutu pelayanan. Harga obat tidak terjangkau masyarakat akan menyebabkan
hasil yang tidak diinginkan. Pengobatan yang irasional adalah
pengobatan yang tidak sesuai atau tidak tepat dengan dosis, indikasi,
jenis obat, diagnosis, cara dan lama pemberian, penilaian terhadap
kondisi pasien, informasi dan tindak lanjutnya. (Sastramihardjo, 1997).
21
Langkah-langkah terapi yang rasional menurut World Health Organization (WHO) :
a. Menetapkan masalah pasien
b. Menentukan objek terapi
c. Memilih strategi terapi
1) Terapi Non Farmakologi
2) Terapi Farmakologi
a) Memilih kelompok obat yang tepat
b) Memilih obat dari kelompok obat terpilih
c) Menguji kecocokan dari terapi farmasi yang dipilih untuk pasien
d) Menulis resep
e) Memberi informasi, pengarahan dan peringatan
f) Monitoring terapi